Tangga La Mellong
Cerpen: dul abdul rahman
Semestinya aku
membenci tangga, karena sudah bertahun-tahun ayahku terbaring lumpuh, gara-gara
terjatuh dari tangga. Tetapi kupikir, kurang bijak kalau harus menyalahkan
tangga, bukankah ayah terjatuh dari tangga akibat kesalahannya sendiri. Lagi
pula, tangga tidak menimpa ayah. Ketika ayah terjatuh, tangga tetap baik-baik
saja, ia tetap berdiri kokoh memeluk pohon belimbing sambil menertawai ayah
yang selalu saja abai terhadap anak-anak tangga.
Adik perempuanku
yang melihat langsung peristiwa tersebut bercerita kalau ayah kami salah
mengira anak tangga. Saat itu, ayah yang memanjat pohon belimbing turun lewat tangga,
ia mengira sudah sampai pada anak tangga pertama, sehingga ketika bermaksud menginjakkan
kaki di tanah, ia melepaskan pegangannya dari tiang tangga. Padahal, saat itu
kaki ayah masih berada di anak tangga ketiga dari tanah.
“Mengapa engkau
tidak melarang ayah memanjat di saat musim hujan seperti ini?”
“Ayah susah
dilarang, ia selalu ingin memanjat.”
Adik perempuanku
membela diri.
Sejak empat tahun
silam, ayah memang mendadak stroke. Dan sejak saat itu, ayah yang
kukenal ulet dan pintar, tiba-tiba menjadi sosok setengah pikun. Tetapi
kebiasaan ayah, yang selalu duduk di teras rumah saban pagi hari, tetap tidak
berubah. Dulu, ayah selalu menyempatkan duduk di teras rumah membaca koran
sebelum ke kantor. Sekarang, saban pagi hari ayah tetap duduk di teras, tetapi
ia tidak lagi membaca. Ia hanya duduk memandangi pohon belimbing yang tumbuh di
pekarangan rumah. Ketika bosan memandangi biji-biji belimbing, atau entah
pikiran apa yang ada di benaknya, ayah pun berusaha memanjat pohon belimbing
tersebut.
“Tidak usah Bapak
memanjat, nanti dijolok saja buahnya oleh Alfian,” ibu mencoba menahan ayah
dengan menyodorkan anak laki-laki kesayangannya sebagai pengganti.
Ayah bergeming.
Setelah terkena stroke dan agak pikun, baru kali itu kulihat semangat ayah
berapi-api kembali. Seolah ingin membuktikan bahwa ia masih laki-laki, dan
masih bisa menaklukkan mimpi, ayah berusaha keras memanjat pohon belimbing. Aku
ikut merinding melihat niat ayah yang ingin menggapai belimbing. Apalagi kala
itu ayah gagal memanjat pohon itu. Ayah begitu kecewa. Mungkin ia merasa tak
lagi berguna di mata isteri dan anak-anaknya.
Aku tak ingin
melihat ayah terpuruk lagi. Sebagai anak lelaki satu-satunya, sulung pula, aku
bisa merasakan impian ayah sebagai laki-laki, sebagai kepala rumah tangga. Saat
itu, satu-satunya mimpi ayah adalah bisa memanjat pohon belimbing. Ayah ingin
agar masakan ibu adalah hasil jerih payahnya. Ibuku memang senang memasak ikan
dengan campuran buah belimbing. Bahkan, tak pernah kulihat ibu memasak ikan
tanpa buah belimbing. Mungkin itulah sebabnya ibu tetap langsing meski sudah
banyak kali bersalin. Ibu setia dengan petuah bertuah nenek: perempuan mestilah
suka buah belimbing, agar tubuh tetap langsing, selain suami tak gampang
berpaling, pun mudah bersalin.
Maka tanpa
sepengetahuan ayah, aku bersama ibu dan adik-adikku berembuk. Lalu bermufakat
memesan sebuah tangga yang nantinya ditempelkan pada pohon belimbing. Adik
perempuanku yang bungsu sangat hafal hari ulang tahun ayah, ia mengusulkan agar
tangga itu sebagai hadiah ulang tahun ayah.
“Biar ayah bisa
memanjat pohon belimbing dan merasa bisa bekerja kembali di hari ulang tahunnya
yang ke-50,” ujarku kepada ibu dan adik-adikku setelah tangga itu terpasang.
Ayah benar-benar
girang dengan hadiah ulang tahunnya. Sifat ayah yang tidak suka diganggu
barang-barang pribadinya, ternyata menular ke tangga miliknya.
“Tidak boleh ada
yang memanjat tangga itu kecuali aku,” begitu samar-samar kata ayah kepada ibu
pada sebuah pagi.
Ayah benar-benar
bergairah kembali. Aku yakin, ia merasa terlahir kembali. Saban pagi hari, ia
memanjat pohon belimbing untuk mengambil buah secukupnya saja. Seolah tidak
ingin lagi pekerjaannya hilang, sekali mengambil buah belimbing hanya untuk
sekali keperluan masak.
Ayah benar-benar
menemukan kembali jati dirinya sebagai laki-laki sebelum peristiwa naas selepas
hujan di pagi hari tersebut terjadi. Jatuh dari tangga, membuat ayah kembali
kehilangan jati dirinya.
…
Tidak semestinya
memang aku membenci tangga, karena akhirnya aku memilih profesi sebagai penjual
tangga. Sebagian orang yang mengenalku, selalu menyebut diriku sebagai
pengusaha tangga. Mungkin karena tangga-tangga yang kujual adalah hasil buatanku
sendiri. Tetapi aku selalu menghindari sebutan ‘pengusaha’. Kata itu terlalu
berat kusandang, aku hanyalah anak-anak tangga yang berusaha menguatkan kembali
tiang-tiang tangga keluarga kami yang patah berantakan.
Aku memasarkan
langsung tangga-tangga buatanku ke daerah pedalaman, hingga ke kampung asal
ayah. Aku bingung menamai kampung asal ayah, karena setiap orang yang kutanyai
hampir mempunyai jawaban berbeda. Ada yang menyebutnya sebagai kampung bahi,
mungkin karena di kampung itu masih banyak babi hutan yang berkeliaran. Sekali
waktu, ada seorang pembeli tanggaku dari kampung sebelah, ia menyebut kampung
asal ayah sebagai kampung parakang, mungkin banyak orang datang ke
kampung itu untuk memeroleh ilmu hitam.
Penamaan kampung
asal ayah yang selalu tak elok, membuatku sedikit kurang enak. Aku tidak mau
memberitahu penduduk kampung bahwa ayahku berasal dari kampung itu juga. Lagi
pula, keluarga besar ayah berurbanisasi ke Makassar selepas ayah tamat dari
satu-satunya sekolah dasar di kampung itu.
Tapi suatu ketika,
saat mobil Datsun tua yang kukendarai berhenti di dekat sekolah ayah, aku
mendengar percakapan orang-orang kampung.
“Ternyata Pak
Ibrahim itu berasal dari kampung kita.”
“Pak Ibrahim yang
dipecat dari jabatannya karena kasus korupsi itu?”
Aku sedih. Aku
merasakan kekecewaan warga. Mereka kecewa karena ulah seorang Pak Ibrahim maka kampung
mereka mempunyai julukan baru: kampung koruptor.
Lewat percakapan
orang-orang kampung itu pula, aku mendengar kalau di kampung itu ada seorang
yang sangat ahli membuat tangga. Kalau aku ahli dalam membuat tangga-tangga
lipat yang terbuat dari besi dan aluminium, maka orang itu ahli membuat tangga
rumah panggung orang Bugis.
“Saya belum pernah
mendengar ada orang terjatuh dari tangga yang sudah dijampi-jampi oleh Pak Tolleng,”
ujar seorang pemuda yang pernah menawar tangga lipatku dengan harga murah.
Pak Tolleng? Aku pernah
mendengar nama itu, tapi aku lupa apakah ayah atau ibuku yang pernah
menyebutnya. Lalu, aku pun berusaha menemui ahli tangga tersebut. Aku terpaksa
menjual tangga lipatku dengan harga murah kepada pemuda yang mengagumi sang
ahli tangga, tetapi dengan syarat ia mau menemaniku berkunjung ke rumah sang
ahli tangga.
Akhirnya aku
bertemu Pak Tolleng. Ia dikenal sebagai dukun tangga. Setiap ada orang yang
ingin membuat tangga rumah, pastilah Pak Tolleng yang diundang untuk memulai
pekerjaan itu.
Ternyata Pak Tolleng
pandai berkisah. Ceritanya yag tak bisa kulupakan berkaitan dengan tangga.
“Inilah ceritanya
kenapa saya memilih jadi dukun tangga,” Pak Tolleng memulai ceritanya, “karena
mendengar seorang anak muda yang sangat cerdas, maka Raja Bone pun memanggilnya
menghadap, beliau ingin menjadikan anak itu sebagai kajao. Beliau
meminta sang pemuda membawa benda pusaka miliknya, maka sang pemuda pun membawa
tangga rangkiang tua. Sang raja hampir saja murka ketika melihat sang pemuda
membawa tangga tua, ia merasa sang pemuda memperolok-olok dirinya. Tapi sang
pemuda cepat menjelaskan tiga keistimewaan tangganya. Pertama, bila menemukan
dua orang yang berselisih, maka tangga itu akan diberikannya agar mereka bisa
bertemu dan saling mengenal, sebab penyebab utama dua orang berselisih karena
mereka tidak saling mengenal. Kedua, bila bertemu dengan orang lapar di tengah
hutan, maka ia cukuplah memberi tangga agar orang itu bisa memetik buah-buahan,
kalau ia memberikan buah maka mereka akan kelaparan lagi bila buah pemberian
habis. Ketiga, ketika berjumpa dengan pejabat kerajaan, ia akan memberikan
tangganya, agar mereka berhati-hati naik tangga atau pun turun tangga, sebab
bila seseorang terlalu serakah melompat maka bisa saja ia akan terpeleset dan
terjatuh.”
“Jadi?”
“Ya, akhirnya sang
pemuda itu diangkat menjadi kajao, ia mendapat julukan La Mellong Kajao
Laliddong,” ujar Pak Tolleng sumringah.
Di akhir pertemuan
kami, Pak Tolleng menanyakan apakah saya tahu rumah seorang pejabat yang juga
teman masa kecilnya di kampung itu.
“Borahima.”
“Tau, Pak.”
“Tahu alamat
rumahnya di Makassar?”
“Tau juga, Pak,”
jawabku sambil mengamati miniatur tangga kecil yang dipegang Pak Tolleng.
“Miniatur tangga
ini kunamai tangga la mellong, ini hadiah untuk sahabat masa kecilku
dulu Borahima, semoga ia masih mengingat diriku,” ujar Pak Tolleng girang.
Ketika
aku hendak meninggalkan rumahnya, Pak Tolleng nampak sedikit ragu, “Apakah
kira-kira tangga kirimanku ini akan sampai di tangan Borahima?”
“Jangan khawatir,
Pak. Aku tahu persis letak rumah Pak Ibrahim, eh Pak Borahima.”
“Oh iya, saya baru
ingat, namanya dulu di sekolah adalah Ibrahim, tetapi kami hanya memanggilnya
Borahima,” Pak Tolleng mengangguk-angguk, “kalau begitu sampaikan salamku pada
Borahima, semoga ia sehat-sehat selalu.”
“Pak Ib… eh Pak Borahima
sekarang menderita lumpuh.”
“Lumpuh?”
“Jatuh dari tangga.”
Kajao = juru bicara kerajaan
La Mellong Kajao Laliddong = juru
bicara dan cendekiawan kerajaan Bone abad XV