Oleh: dul abdul rahman
(Sastrawan dan peneliti budaya, penulis novel “La Galigo”)
Selalu saja tema cinta menjadi inspirasi bagi para sastrawan untuk mengungkapkan perasaannya. Apapun genrenya, tanpa cinta serasa karya itu tak lezat dan kurang nikmat. Tema cinta memang selalu mendedah resah, meluah hibah, pun memadah airmata. Bahkan serupa mantra bagi para pengagum cinta, ketika mereka jatuh cinta dunia serasa penuh dengan pelangi-pelangi surgawi. Hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Banyak kisah cinta yang melegenda. Tak pelak lagi dua kisah cinta yang paling melegenda adalah Romeo-Juliet karya William Shakespeare dan Layla-Majnun karya Syaikh Nizami. Kisah cinta yang melegenda lainnya adalah, Khusraw-Shirin, Cleopatra-Julius Caesar, Jennifer Cavileri-Oliver Barret, San Pek-Eng Tay, dan Yusuf-Zulaikha.
Dari Indonesia terdapat juga legenda cinta abadi, yaitu Layonsari-Jayaprana yang merupakan cerita cinta dari daerah Bali yang terusik karena campur tangan raja yang cemburu buta. Cerita cinta abadi lainnya dari Indonesia adalah Roro Mendut-Pranacitra, yaitu kisah cinta Tumenggung Wiraguna pada Roro Mendut, putri dari Mataram yang sudah memiliki pilihan hati, Pranacitra.
Dari Sulawesi Selatan, terdapat banyak kisah cinta abadi yang bersumber dari kitab sastra La Galigo. Selain yang termaktub dalam kitab sastra La Galigo yang berjumlah 12 jilid yang berisi 2851 halaman dan tersimpan rapih di museum Universitas Leiden, Belanda, yang ditulis oleh Colliq Pujie Arung Pancana Toa, terdapat pula berbagai macam sastra lisan yang berkembang turun temurun di Sulawesi Selatan yang punya benang merah dengan kitab La Galigo.
Adalah sangat ‘memalukan’ bila orang-orang yang mendiami Sulawesi Selatan (baca: Bugis-Makassar-Toraja-Mandar) gagap dengan cerita-cerita yang lahir dari rahim bumi tempat pijakannya sendiri. Yang tak kalah mengerikannya orang-orang yang berkecimpung dalam dunia budaya dan sastra pun gagap dan gugup dengan budaya dan sastra lokal dimana mereka berdomisili. Sesungguhnya penamaan budaya lokal dan sastra lokal bukanlah untuk menilai apakah sebuah nilai budaya atau sastra bagus atau tidak bagus, tetapi sebagai sebuah identitas dimana sastra dan budaya itu lahir dan berkembang. Sastra La Galigo adalah sastra lokal klasik milik masyarakat Sulawesi Selatan yang kini sudah mendunia. Bahkan La Galigo kini menjadi sastra milik dunia internasional setelah mendapat penghargaan Memory of The World (MOW) dari badan PBB UNESCO pada tahun 2011.
Banyak cerita-cerita atau legenda cinta yang terukir dalam kitab sastra Lagaligo, seperti Batara Guru dan We Nyiliq Timoq, Batara Lattuq dan I We Datu Sengngeng, Sawerigading dan I We Cudaiq. Cerita-cerita yang punya benang merah dengan kitab La Galigo, seperti La Sinribaleng dan I Rubaedah, La Pundarek dan Putri Salewangang.
Batara Guru dan We Nyiliq Timoq
Dalam cerita La Galigo, Batara Guru adalah manusia pertama di Kerajaan Bumi (Dunia Tengah/Ale Lino). Sebelumnya Batara Guru tinggal di Kerajaan Langit (Dunia Atas) dan bernama La Togeq Langiq. Oleh ayahnya, Sang Patotoqe, ia dikirim untuk menghuni Kerajaan Bumi. Untuk menemaninya di Kerajaan Bumi maka dikirimkanlah seorang pendamping dari Kerajaan Peretiwi (Dunia Bawah) bernama We Nyiliq Timoq.
Sewaktu We Nyiliq Timoq muncul di lautan dengan perahu keemasan, Batara Guru meminta para pengawalnya untuk menjemput calon permaisurinya, namun perahu-perahu para penjemput tidak bisa mendekati perahu We Nyiliq Timoq karena selalu terhempas oleh gelombang. Maka Batara Guru pun yang berusaha menjemput calon permaisurinya. Perahu keemasan We Nyiliq Timoq pun dengan cepat bertemu dengan perahu Batara Guru.
Batara Guru dan We Nyiliq Timoq kemudian menikah. Mereka saling mencintai dan menyayangi. Dari pasangan ini lahirlah seorang putra mahkota yang diberi nama Batara Lattuq.
Batara Lattuq dan We Datu Sengngeng
Setelah Dewasa, Batara Lattuq harus bersusah payah berlayar ke negeri Tompoq Tikkaq untuk mencari jodohnya. Batara Lattuq berlayar berbulan-bulan hingga tiba di sebuah kerajaan manurung, Tompoq Tikkaq. Pada saat itu penguasa Tompoq Tikkaq bernama La Urung Mpessi dan isterinya We Pada Uleng meninggal dunia akibat bencana yang melanda negeri itu. Negeri itu memang sedang dikutuk oleh Sang Patotoqe akibat ulah La Urung Mpessi yang membuang nasi di sungai. Padahal nasi atau padi adalah jelmaan Datu Sangiang Serri, saudara Batara Lattuq.
Saat itu pula, kedua perempuan pewaris tahta Tompoq Tikkaq berlari ke hutan karena ingin dibunuh oleh bibi mereka bernama We Tenrijelloq yang ingin menguasai Tompoq Tikkaq. Alhasil, pelayaran ke Tompoq Tikkaq bagi Batara Lattuq bukan hanya mencari jodoh tetapi untuk membebaskan Tompoq Tikkaq dari kekejaman We Tenrijelloq bersama suaminya La Tenrigiling.
Akhirnya, Batara Lattuq berhasil membebaskan Tompoq Tikkaq kemudian menikah dengan salah seorang pewaris Tompoq Tikkaq bernama We Datu Sengngeng. Lalu Batara Lattuq membawa permaisurinya kembali berlayar ke Ale Luwuq. Sedangkan yang tinggal berkuasa di Tompoq Tikkaq adalah kakak kandung We Datu Sengngeng bernama We Adiluwuq.
Batara Lattuq sangat mencintai isterinya We Datu Sengngeng. Bahkan ia menolak memiliki selir karena cintanya hanya milik We Datu Sengngeng seorang.
Sawerigading dan I We Cudaiq
Kisah cinta yang paling mengharukan dan menegangkan adalah kisah cinta Sawerigading dan Putri Cina, I We Cudaiq.
Awalnya Sawerigading jatuh cinta kepada saudara kembar emasnya bernama I We Tenriabeng. Karena kembar emas, keduanya dipisahkan sejak masih kecil. Ketika bertemu di saat dewasa, Sawerigading langsung jatuh cinta dengan kecantikan I We Tenriabeng. Ia pun ingin segera melamarnya. Namun keinginan Sawerigading ditentang keras oleh para penasehatnya karena sesungguhnya Sawerigading bersaudara kembar emas dengan I We Tenriabeng. Karena sudah dirasuki rasa cinta yang buta, Sawerigading tidak percaya dengan para penasehatnya. Bahkan ia membunuh juru bicara penasehatnya bernama Rajeng Makdopeq.
I We Tenriabeng mencoba meyakinkan Saweigading bahwa mereka benar-benar bersaudara kembar emas. Lalu ia menyarankan saudara kembar emasnya tersebut untuk berlayar ke Negeri Cina. Karena di Negeri Cina terdapat seorang perempuan yang mirip dengan dirinya bernama I We Cudaiq.
Akhirnya Sawerigading mau percaya dengan penjelasan saudari kembar emasnya. Ia pun memutuskan berlayar ke Negeri Cina untuk menemukan tambatan hatinya. Namun sesampai di Negeri Cina, I We Cudaiq tidak mau bertemu dan melihat wajah Sawerigading. I We Cudaiq mati-matian menolak dinikahi oleh Sawerigading. Ia termakan isu bahwa Sawerigading adalah lelaki yang sangat buruk rupa.
Karena merasa dilecehkan oleh Putri Cina, Sawerigading pun bermaksud membumihanguskan kerajaan Ale Cina. Karena takut dengan kekuatan pasukan Sawerigading, akhirnya I We Cudaiq mau dinikahi oleh Sawerigading dengan berbagai syarat. Salah satunya adalah Sawerigading hanya boleh mendatangi I We Cudaiq pada malam hari. Pun tidak boleh menyalakan lampu atau pelita.
Maka sejak menikah, Sawerigading hanya bisa mengunjungi isterinya di malam hari. Itupun Sawerigading tidak bisa bermesraan dengan isterinya karena sejak menikah, I We Cudaiq selalu membungkus tubuhnya dengan pakaian tujuh lapis yang sudah dijahit ujung kaki dan bagian kepala. Tapi Sawerigading tidak pernah kehabisan akal, ia berpura-pura tidak mau mengunjungi isterinya lagi. Atas bantuan kucing miko-miko dan memompalo karellae sebagai mata-mata, pada suatu malam I We Cudaiq tidak lagi membungkus tubuhnya karena mengira Sawerigading sudah tidak mau mengunjunginya. Di saat itu tiba-tiba Sawerigading muncul dan langsung memeluk isterinya. Kucing miko-miko pun langsung menyalakan pelita dengan ekornya. I We Cudaiq tetap tidak mau melihat wajah suaminya. Ia terus menutup kepalanya dengan membelakangi Sawerigading.
Sawerigading mencoba membujuk isterinya dengan bercanda, “Kalau memang kamu tidak mencintaiku, maka lebih baik aku mengunjungi kekasihku oro sadda (perempuan yang sangat jelek) yang berkepala tiga.”
I We Cudaiq langsung tertawa dan refleks berbalik ke arah Sawerigading. Dan betapa terkejut dan bahagianya I We Cudaiq karena ternyata suaminya adalah lelaki yang sangat tampan. Bahkan ia belum pernah melihat lelaki setampan Sawerigading. Sawerigading dan I We Cudaiq kemudian mempunyai anak lelaki yang diberi nama: I La Galigo.
Tentang Dul Abdul Rahman.
Sastrawan dan peneliti budaya. Ia menamatkan pendidikan menengahnya di SMA Negeri Bikeru Sinjai Selatan pada 1993. Pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (1993-1998), Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar (2001-2002), Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin (2004-2009). Aktif bersastra di Indonesia dan Malaysia.
Ratusan tulisannya berupa karya sastra dan kritik sastra dimuat koran lokal dan nasional di Indonesia dan Malaysia. Karya-karyanya dijadikan bahan penelitian oleh mahasiswa untuk meraih gelar sarjana dan pascasarjana, di Indonesia maupun Malaysia.
Buku-buku sastranyat:
1. Lebaran Kali Ini Hujan Turun (Kumpulan Cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009);
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010);
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010);
5. Sabda Laut (Novel. Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010).
6. Sarifah (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2011)
7. La Galigo (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2012)
8. Dewi Padi dan Kucing Kesayangannya (Novel, Diva Press Yogyakarta, segera terbit)