oleh:
dul abdul rahman
(Sastrawan
dan Peneliti Budaya)
Bencana pertama yang melanda bumi
dalam Cerita La Galigo adalah panen padi yang gagal total. Bencana ini melanda
Negeri Tompoq Tikkaq, salah satu dari tiga negeri Manurung, selain Ale Luwuq
dan Wewang Nriuq. Dan –boleh jadi, Negeri Tompoq Tikkaq mengacu ke Kerajaan
Gowa, Wewang Nriuq adalah Kerajaan Bone. Dan –sudah pasti Ale Luwuq adalah
Kerajaan Luwu itu sendiri.
Bencana gagal panen tersebut pernah
saya deskripsikan dalam novel Terbunuhnya Sang Nabi:
Kegagalan panen
padi diakibatkan oleh munculnya burung-burung pipit misterius di saat bulir-bulir
padi mulai padat berisi. Meski para petani menjaga sawah mereka pada siang hari
tetapi tetap saja burung pipit misterius tersebut memakan bulir-bulir padi
mereka. Lalu yang tersisa hanyalah bulir-bulir padi yang kosong berdiri
menuding Sang Patotoe di Boting Langiq yang mengirimkan burung pipit misterius
dan bengis.
(Terbunuhnya
Sang Nabi, hal.4)
Bencana gagal panen tersebut
diakibatkan oleh ulah Raja Tompoq Tikkaq bernama La Urung Mpessi yang membuang
beras dan nasi ke sungai. Kala itu Sang Raja murka, karena pesta yang diadakan
di kerajaan tersebut tidak dihadiri oleh raja-raja yang ada di kolong langit,
padahal jauh sebelumnya undangan sudah diedarkan.
Setelah La Urung Mpessi dan
isterinya We Padauleng meninggal, kerajaan itu dikuasai oleh We Tenrijelloq dan
suaminya La Tenrigiling. Agar Sang Patotoe (Sang penentu nasib) di Boting
Langiq (Kerajaan Langit) tidak lagi murka maka langkah pertama yang dilakukan
penguasa baru adalah mengumpulkan seluruh bissu
(pemuka agama dalam kepercayaan La Galigo). Lalu diadakanlah ritual tarian
bissu sebagai bentuk permohonan maaf kepada dewa di langit, dan juga sebagai
bentuk penghormatan kepada Sangiang Serri (Dewi Padi).
Alhasil, tanaman padi di Kerajaan
Tompoq Tikkaq kembali seperti semula. Surplus beras. Sebagai rasa syukur, setiap
selesai panen diadakanlah ritual tarian bissu. Meski tarian ini sangat sakral
yang melibatkan para bissu termasuk Puang
Matowa (kepala bissu), kemeriahan tetap sangat nampak. Tarian bissu memang
hanyalah pembuka dari acara pesta rakyat.
Tarian bissu dimulai dengan
munculnya Puang Matowa dengan pakaian kebesarannya. Ia menghadap Dewi Padi
Sangiang Serri. Dewi padi disimbolkan dengan sebuah bangunan persegi empat yang
bersusun tiga. Tapi mereka percaya Sangiang Serri benar-benar turun dari langit
dan berada dalam bangunan tersebut. Di samping bangunan itu berdiri dua bissu
yang ‘berwajah kucing’. Kedua bissu tersebut sudah dimasuki roh kucing Meompalo
Karellae yang menjadi pengawal setia Sangiang Serri. Puang Matowa berjalan
sambil memukulkan dua alosu ke tanah
tiga kali sambil berteriak Kurru Sumange
kepada Sangiang Serri. Alosu adalah tongkat bissu yang terbuat dari bambu,
dibungkus dengan anyaman daun lontar berwarna hijau, berpasangan dengan merah,
dan diberi kepala dan ekor ayam pada setiap ujungnya. Alosu biasanya berisi butiran-butiran
sehingga berbunyi saat diayunkan.
Gemerincing alosu Puang Matowa
mengundang sekumpulan bissu muncul menghadap Sangiang Serri. Mereka pun
meneriakkan kurru sumange setelah memukulkan alosu mereka ke tanah. Lalu
muncullah rombongan bissu lainnya yang masing-masing membawa arumpigi. Dua
orang bissu membawa lesung. Mereka pun melakukan tarian bissu. Salah satu
adegan dari tarian tersebut adalah para bissu memukul-mukulkan arumpigi ke
dalam lesung. Arumpigi adalah batangan bambu atau kayu yang dibungkus kain
berwarnah merah dan kuning. Pada ujung arumpigi diberi hiasan kepala burung
yang bisanya terbuat dari kayu.
Ketika tarian bissu ini berlangsung,
di sekeliling mereka masyarakat awam ikut melakukan pertunjukan. Kelompok
penari bissu dikelilingi oleh masyarakat yang ‘berkostum’ kucing sebagai
penjaga bissu dan dewi padi. Kucing jadi-jadian tersebut terus mengawasi para
hama yang ingin menyerbu. Hama itu berupa tikus, ayam, dan burung pipit. Kostum
hama tersebut juga diperankan oleh masyarakat umum.
Pesta Rakyat
Karya besar La Galigo pada mulanya
berfungsi sebagai sebuah kitab suci. Sebelum masuknya Agama Islam di jazirah
Selatan Pulau Sulawesi, masyarakat Bugis-Makassar, mayoritas kepercayaan mereka
adalah kepercayaan La Galigo.
Seorang
misionaris Belanda B.F.Matthes (1818-1908) yang pernah bertugas di Sulawesi
sangat tergila-gila dengan Kitab La Galigo. Misionaris yang juga tokoh literasi
tersebut ingin memiliki kitab tersebut. Tetapi tidak ada satu kerajaan pun yang
mau menyerahkan padanya. Selain sebagai kitab suci, La Galigo memang menjadi
simbol ‘kesakralan’ sebuah kerajaan.
Setiap
kerajaan pun hanya memiliki satu kitab La Galigo. Sang misionaris akhirnya
punya ide untuk menyalin semua kitab La Galigo, ia pun meminta bantuan kepada
Retna Kencana Colliq Pujie untuk menyalinnya. Saat itu Colliq Pujie menjadi
tahanan Belanda di Benteng Fort Rotterdam. Ratu Kerajaan Tanete (Barru)
tersebut berhasil menyalin sepertiga dari seluruh kitab La Galigo. Sepertiga
dari kitab La Galigo yang disalin itu terbagi menjadi 12 jilid yang kini berada
di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda.
Boleh
jadi, karena tokoh sentral yang berperan membuat Kitab La Galigo menjadi lestari
hingga sekarang adalah Colliq Pujie yang juga Ratu Tanete (Barru), maka
tradisi-tradisi budaya La Galigo banyak ditemukan di Kabupaten Barru dan juga
Kabupaten Pangkep saat ini.
Salah
satu tradisi yang masih lestari hingga saat ini adalah tradisi pesta panen
rakyat yang biasa disebut Mappadendang atau Appaddekko (Makassar). Pesta rakyat
tersebut tak ubahnya pesta rakyat di Kerajaan Tompoq Tikkaq pada periode La
Galigo.
Tarian Appaddekko
Suatu siang saya menyaksikan
pementasan tarian Appaddekko di SMP Negeri 15 Makassar. Wilayah –yang boleh
jadi, bagian Kerajaan Tompoq Tikkaq pada zaman dahulu kala. Tarian itu juga
ikut dipentaskan dalam acara F8 Makassar. Saya larut hanyut menyaksikan tarian
tersebut. Khayalan saya bolak-balik, antara Zaman La Galigo tempoe doloe, dan Zaman Now.
Sebuah tarian yang cukup memikat. Agar
tarian Appaddekko/Appadendang tidak kehilangan ‘nilai magis’ (baca: nilai
budaya), saya pikir ada hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum pementasan. Pertama,
kostum harus bercirikan budaya setempat. Kostum tau-tau sebaiknya tidak dibuat berlebihan sehingga menyerupai
ondel-ondel Betawi, pun tidak terlalu menyeramkan serupa vampire. Kedua, pemilihan benda-benda budaya atau kostum harus
inheren dengan tema tanaman padi atau pesta panen. Kostum yang inheren seperti
kostum hama tikus, burung pipit. Atau kostum kucing khususnya Meongpalo
Karellae (kucing tiga warna yang menjadi kucing kesayangan Sangiang Serri).
Memang, dalam setiap pementasan, sangatlah dibutuhkan daya imajinasi dan
kreasi. Yang penting nilai-nilai budaya tetap lestari. Kurru Sumange. dulabdul@gmail.com
Sumber: Harian Fajar, Ahad 28 Oktober 2018