Kamis, 22 Agustus 2013

Tangga La Mellong, Nasihat untuk Pemimpin Kita


Tangga La Mellong, Nasihat untuk Pemimpin Kita

Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

            Sekitar abad XVII, Raja Bone mendengar kabar tentang seorang pemuda yang berani dan cerdas. Pemuda yang bernama La Mellong tersebut berasal dari Kampung Laliddong, kampung kecil yang masih berada dalam wilayah kekuasan Kerajaan Bone.
Raja Bone pun memanggil pemuda tersebut untuk dijadikan sebagai kajao (penasehat kerajaan). Tetapi sebelumnya, sang raja ingin mengetes kecerdasan pemuda tersebut. Maka, sang raja pun memerintahkan La Mellong untuk mengumpulkan 70 orang buta dalam waktu yang singkat. Sang raja juga meminta La Mellong untuk membawa benda pusaka miliknya. Setelah berpikir sejenak, La Mellong pun mengiyakan kedua permintaan sang raja.
La Mellong segera kembali ke rumahnya di kampung Laliddong. Ia mengambil tangga rangkiang tua miliknya. Lalu ia menyeret tangga itu menuju istana kerajaan Bone. Di tengah jalan, orang-orang pun bertanya, “Apa yang engkau bawa La Mellong?”
Setiap ada orang yang bertanya, maka La Mellong pun meminta orang itu ikut bersamanya menuju istana. Setiba di depan istana, sudah ada 69 orang yang mengikuti La Mellong.
“Hei! Apa yang engkau bawa itu, La Mellong?” Tanya seorang pengawal istana ketika La Mellong menyeret tangga rangkiang tuanya melewati gerbang istana.
Pammasena Dewatae (Syukur Alhamdulillah), saya sudah menemukan 70 orang buta,” ujar La Mellong dalam hati sambil bergegas menemui sang raja.
“Tabek Puang, saya sudah membawakan 70 orang buta dan juga benda pusaka milikku,” ujar La Mellong.
“Ha? Orang buta? Tangga rangkiang? Engkau jangan main-main La Mellong!” ujar sang raja dengan suara meninggi.
“Ampun Puang!” La Mellong menyembah, “Sungguh saya tidak bermaksud bermain-main apalagi mau mengelabui Puang, tapi ketahuilah bahwa 70 orang yang datang bersamaku ini adalah orang-orang buta. Buktinya, ketika saya berjalan sambil menyeret tangga rangkiang dari kampungku menuju istana ini, mereka bertanya padaku tentang apa yang saya bawa, andaikan mereka melihat bahwa yang saya bawa adalah tangga rangkiang maka tentu mereka tidak akan bertanya. Begitulah Puang, banyak diantara kita yang matanya melihat tetapi mata hatinya tidak melihat.”
Seketika sang raja menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum, “Engkau benar La Mellong.” Lalu sang raja menatap lekat-lekat tangga rangkiang tua milik La Mellong.
“Tapi mengapa engkau membawa tangga rangkiang tuamu yang sudah mulai lapuk?”
La Mellong cepat mengangkat tangga rangkiang tua miliknya yang terbuat dari bambu, “Tabek Puang, inilah benda pusaka milikku.”
“Hah? Benda pusaka? Lalu apa keistimewaan tangga rangkiangmu itu?” Cecar raja.
“Tabek Puang, tangga ini mempunyai tiga keistimewaan. Pertama, bila saya menemukan dua orang yang berselisih maka saya akan memberikan tangga ini kepada keduanya agar mereka bisa bertemu dan saling mengenal, sebab penyebab utama dua orang bertengkar atau berselisih paham karena mereka tidak saling mengenal. Kedua, bila saya bertemu dengan orang yang lapar di tengah hutan sedangkan mereka tidak bisa memanjat pohon, maka saya cukuplah memberi tangga ini agar orang lapar itu bisa memetik sendiri buah-buahan yang ranum di pepohonan, kalau saya memberikan mereka buah maka mereka akan kelaparan lagi bila buah pemberian tersebut sudah habis. Ketiga, ketika saya berjumpa dengan seorang pejabat kerajaan, maka saya akan memberikan tangga ini, agar mereka berhati-hati naik tangga atau pun turun tangga, sebab bila seseorang terlalu serakah melompat maka bisa saja ia akan terpeleset dan terjatuh,” jelas La Mellong.
“Engkau benar-benar cerdas La Mellong, mulai sekarang engkau akan kuangkat menjadi penasehat utama kerajaan,” tegas sang raja.
La Mellong pun resmi menjadi seorang penasehat kerajaan. Ia diberi gelar Kajao Laliddong.
Makassar, kota yang acapkali dicap kasar, karena penduduknya berkelahi melulu di layar teve  -teve juga mungkin kurang ajar karena hanya mengejar pasar- padahal masih banyak sudut kota Makassar yang damai tapi tak diberitakan. Makassar butuh tangga La Mellong agar warga yang selalu bertikai tidak lagi saling melempar, tetapi saling mengunjungi dan berdamai dengan hati sabar dan jiwa yang besar.
Tak hanya sebatas kota Makassar, tetapi Indonesia saat ini sangat butuh tangga La Mellong. Para pemimpin perlu memiliki tangga La Mellong, agar mereka selalu berhati-hati dalam memanjat, baik memanjat pangkat maupun memanjat harta. Karena bisa saja kalau mereka memanjat harta dengan melompat terlalu tinggi, lalu mengambil yang bukan haknya, maka mereka akan terjatuh dalam penjara Komisi Pemberantasan Korupsi. Maka, sebelum mereka terkena kutukan adagium ‘sudah terjatuh tertimpa tangga pula’ maka sebaiknya mereka meminjam tangga La Mellong.

Sumber: LITERASI KORAN TEMPO MAKASSAR
Kamis 22 Agustus 2013

Mudik, Wong Cilik, dan Terapi Modernitas

Mudik, Wong Cilik, dan Terapi Modernitas
Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

            Setelah berhitung segala ongkos kepulangannya, pun plus-minusnya, akhirnya Sangkala memutuskan untuk mudik. Lagipula tidak ada alasan baginya untuk tidak mudik. Tidak seperti lima tahun sebelumnya, setiap lebaran tiba, Sangkala selalu terburu-buru memburu mudik. Saat itu ia masih berstatus mahasiswa. Saat itu pula ia benar-benar menikmati mudik. Mudik baginya seperti sebuah terapi untuk melupakan segala rutinitasnya di kampus. Ia bisa bercengkerama dengan teman-teman sekolahnya, pun teman masa kecilnya di kampungnya dulu. Ia bisa menikmati wajah-wajah kampung ramah dan bersahabat. Pun ia bisa menjadi sosok idola bagi para bunga-bunga desa di kampungnya. Predikat mahasiswa yang ia sandang kala itu seperti sebuah azimat yang dapat meluluhkan hati setiap bunga desa yang ayu dan kemayu.
            Tapi kini, setiap lebaran tiba, Sangkala benar-benar berhitung masak-masak. Jarak antara Makassar dengan kampung halamannya tidaklah terlalu jauh di pelosok desa di kabupaten Sinjai. Uang transport pulang pergi cukuplah seratus lima puluh ribu rupiah saja. Tapi bukan itu yang membuat Sangkala berpikir keras. Tapi oleh-oleh buat para kerabat dekatnya, ponakan-ponakannya, bahkan para tetangganya adalah sesuatu yang ia harus persiapkan. Ia malu bila ia tiba di rumah orang tuanya di kampung, lalu banyak kerabat yang mengunjunginya tapi tidak diberikan apa-apa. Apalagi Sangkala telah dicap di kampungnya sebagai orang sukses. Padahal sesungguhnya pendapatan Sangkala hanyalah cukup untuk biaya hidup saja. Ia belum mapan, apalagi mau disebut orang kaya. Tapi Sangkala harus mudik. Lalu. Mau tak mau ia harus mengeringkan rekeningnya di bank.
            Orang-orang seperti Sangkala sangat mudah kita lihat dimana-mana. Di pelabuhan-pelabuhan, di terminal-terminal, tapi jangan lihat di bandara-bandara. Kita bisa melihat wajah para pemudik yang kuyu tetapi tetap terpancar kebahagiaan karena akan bertemu dengan para kerabat dan handai tolan, meski kebanyakan dari mereka tetap membawa sebungkus kegelisahan karena biaya mudik. Tapi hakekatnya mereka tetap bahagia.
Kata mudik tidak persis sama dengan pulang, tapi jelasnya bila kita mendengar idiom mudik maka yang terbayang dalam ingatan kita adalah pulang atau pulang kampung. Berbeda dengan kata pulang, mudik mengandung arti tersendiri. Istilah mudik baru dibicarakan pada saat-saat tertentu yang dianggap sakral seperti saat lebaran, pun natalan.
            Dengan mudik, orang-orang yang sudah kehilangan jati dirinya dalam hiruk pikuk dan kepalsuan kota, ingin menemukan dirinya kembali dengan mengenang masa-masa lalunya di kampung halaman yang penuh dengan kenangan indah. Mereka yang di kota hanya dihitung sebagai angka-angka pecahan, pun sebagai mor kecil yang berkarat dalam mesin raksasa kota yang rakus ingin menemukan jati dirinya sebagai manusia. Mereka juga ingin melupakan wajah-wajah kota yang garang untuk menikmati keramahan wajah-wajah kampung dengan girang. Para pembantu rumah tangga ingin bebas sementara dari majikan-majikan perempuan yang galak, atau mata majikan laki-laki yang jalang. Para buruh-buruh pabrik ingin bebas dari raungan mesin-mesin yang pongah dengan menikmati desahan sungai-sungai yang renyah. Dengan mudik, mereka dapat merenungkan apa yang telah dikerjakannya dan merenungkan eksistensi dirinya sebagai manusia. Itulah makna mudik.
            “Mudik adalah salah satu terapi untuk manusia modern,” kata Jalaluddin Rakhmat. “Manusia modern melahirkan manusia robot,” kata Lewis Yablonsky. Manusia robot telah kehilangan kreativitas, mereka menjadi mesin yang terikat pada rutinitas yang monoton, mereka digerakkan secara massal oleh para pemegang kebijakan, baik penguasa maupun pengusaha yang terkadang susah dibedakan. Pagi hari bangun, mandi, sarapan lalu ke kantor untuk mengerjakan pekerjaan yang itu-itu juga. Sehingga kota-kota besar telah menjadi rumah sakit jiwa yang besar yang dihuni oleh para manusia robot sehingga penyembuhannya memerlukan suatu terapi yang memanusiakan manusia. Ya, itulah makna mudik.
            Sayang! Kebanyakan yang berburu dan terburu-buru untuk mudik hanyalah orang-orang kecil saja. Alangkah indahnya bila mudik sebagai terapi manusia modern dilakukan pula oleh para penguasa pun pengusaha. Dan mudik jangan hanya pada waktu lebaran saja, sehingga mereka itu para penguasa dan pengusaha bukan lagi manusia robot yang melibas manusia dengan tangan kekuasaannya, tetapi mereka memperlakukan manusia secara manusiawi sebab dengan mudik mereka akan menemukan kemanusiaan dirinya sebagai manusia. 

sumber: LITERASI KORAN TEMPO MAKASSAR
Sabtu 3 Agustus 2013