Kamis, 13 Oktober 2011

K E M A R A U cerpen dul abdul rahman

K E M A R A U
Oleh: dul abdul rahman

Musim kemarau kali itu sangat panjang. Padahal bulan-bulan seperti itu biasanya hujan sudah datang. Hanyalah mendung yang sesekali datang menawarkan hujan lalu menghilang. Matahari terus bersinar seperti mata perempuan jalang. Bumi terus meradang. Tanah mulai gersang. Pohon-pohon meranggas sambil berdiri kaku seperti dirajam. Binatang-binatang nampak resah karena kepanasan. Rumput-rumput pun mengering seolah dipanggang. Pawang hujan sudah mulai bosan. Mantra-mantranya meminta hujan tak lagi mempan.

“Ini benar-benar kutukan Raksasa Bawakaraeng dan Lompobattang.”

Begitulah batin dan prasangka banyak orang. Mereka memang nampak gamang. Di kampung mereka berkali-kali terjadi keangkaramurkaan. Pun tragedi kemanusian. Jadi kemarau panjang bisa saja adalah sebuah peringatan bagi orang yang ber-Tuhan.

Meski demikian, petani-petani bersahaja Desa Tibona tetap sabar memelihara binatang ternak dan kebun-kebun mereka dengan hati lapang. Meski kemarau panjang membuat tanaman-tanaman mereka mengering, tetapi mereka berusaha menyiram tanaman. Walau mereka harus mengambil air yang jauh di Sungai Lolisan bahkan Sungai Pallangisang.
Di musim kemarau, bagi para petani hanyalah Sungai Lolisan yang menjadi tumpuan dan harapan. Untungnya Sungai Lolisan tetap setia menjadikan petani-petani bukan sebagai lawan. Airnya tidak pernah mengering walau terjadi kemarau panjang.

Warga Desa Tibona sangat percaya bahwa selama penghuni Sungai Lolisan yang berwujud buaya masih ada maka sungai itu tidak akan pernah kering kerontang. Buaya tersebut memang bukan buaya sembarang. Tetapi konon buaya jelmaan orang. Olehnya itu, untuk menghargai penghuni Sungai Lolisan sekaligus menjaga agar tidak terjadi abrasi, maka petani setempat pantang menebang pepohonan yang tumbuh dipinggir Sungai Lolisan. Tapi kebiasaan itu mulai dilupakan orang. Orang-orang sudah mulai berani menebang pohon di pinggir Sungai Lolisan dengan sembarangan bahkan serampangan.
Untungnya ada dua tokoh masyarakat bernama Lahajji dan Mattorang terus berkampanye bahwa warga harus menjaga pohon-pohon di sekitar Sungai Lolisan. Warga juga harus belajar menjaga pohon-pohon serupa masyarakat suku Kajang memperlakukan pepohonan di Tanah adat Kajang. Selalu begitu nasehat Lahajji dan Mattorang yang tiada pernah bosan memberikan peringatan.

Lahajji dan Mattorang memang bertekad untuk terus berjuang melestarikan lingkungan serta menjaga kampung halaman. Semangat dan tekad almarhum kedua kawan mereka bernama Barra Tobarani dan Sallasa Tomacca terus menginspirasi mereka untuk terus berjuang.

Pesan-pesan menjaga kampung halaman dan lingkungan dari kedua almarhum temannya tersebut terus terngiang-ngiang di telinga Lahajji dan Mattorang. Bahkan Lahajji dan Mattorang terus menggalakkan LSM pada bidang lingkungan. Kampanye betapa pentingnya mencintai kampung halaman dan lingkungan terus digalakkan.

Lalu. Untuk menghormati jasa-jasa Barra Tobarani dan Sallasa Tomacca sekaligus mengenang masa-masa persahabatan mereka yang indah dan menyenangkan, Lahajji dan Mattorang selalu mengunjungi makam kedua temannya tersebut saban hari Jumat pagi atau petang.

Pada suatu hari, bertepatan dengan hari Jumat. Di sebuah pemakaman khusus yang terletak di perbatasan antara kebun petani dan perkebunan karet, nampak Lahajji dan Mattorang sedang menabur bunga di dua makam yang saling berdekatan.
Keduanya nampak meneteskan airmata di depan kedua batu nisan tersebut. Keduanya memang tidak bisa menahan rasa haru mereka. Di tempat itu, tiga belas tahun yang lalu ketika Barra Tobarani mappaolli , mereka berempat berjanji akan melawan kaum bermodal yang ingin merampas kampung halaman mereka lalu menjadikannya sebagai lahan perkebunan.

Terkenang lagi akan kalimat berani Barra Tobarani kala itu, “Pokoknya tanah saya yang berbatasan langsung dengan pihak perkebunan akan menjadi perisai bagi tanah-tanah petani lainnya.” Dan sekarang itu bukan hanya tanah milik Barra Tobarani yang akan menjadi perisai tetapi juga jasad almarhum Barra Tobarani bersama jasad almarhum Sallasa Tomacca yang tertanam di tanah itu. Komitmen kedua almarhum temannya tersebut adalah komitmen mereka berdua serta orang-orang yang pro LSM Tobarani yang memperjuangkan nasib petani. Mereka akan terus menjaga dan memelihara komitmen tersebut. Bahkan ketika Barra Tobarani dan Sallasa Tomacca telah tiada, semakin banyak petani yang bergabung dalam LSM Tobarani. Mereka adalah petani-petani pilihan yang berani melawan pihak mana pun yang selalu bertindak sewenang-wenang.

Tak jauh dari makam itu nampak pohon-pohon karet bergoyang-goyang oleh tiupan angin dari arah selatan. Saat itu goyangan pohon-pohon karet tersebut nampak lebih girang. Mereka seperti berdendang riang melihat kesedihan dua petani pejuang.
Lahajji dan Mattorang terus menangis di depan dua makam tersebut. Meski menangis, keduanya terus bersumpah untuk melanjutkan kiprah LSM Tobarani meski dua rekannya telah tiada. Bahkan sejak kedua rekannya tersebut gugur, Lahajji dan Mattorang dibantu oleh Mappiasse, Beddu Rassa, dan Sattu Sobbu terus melakukan pembelaan pada warga yang tanahnya akan diambil paksa oleh pihak perkebunan dengan sewenang-wenang.

Mereka juga terus melakukan pengusutan atas tragedi penembakan yang dilakukan oleh aparat keamanan dan mandor perkebunan yang menewaskan dua rekannya tersebut. Tidak tanggung-tanggung, Lahajji dan Mattorang bekerjasama dengan LSM yang sangat terkenal dari Jakarta. LSM itu terus membela kaum yang tertindas bahkan fokus membela orang-orang yang hilang karena sengaja dihilangkan oleh rezim orde baru yang tak mengenal rasa kasihan.

Sementara Lahajji dan Mattorang terus berdoa dan menangis di depan makam itu, terlihat tiga orang menuju makam itu juga. Tetapi ketika dilihatnya Lahajji dan Mattorang sedang menangis, mereka tidak sampai hati mendekat. Ketiga orang itu berencana meninjau lokasi makam Barra Tobarani dan Sallasa Tomacca. Mereka bersepakat untuk memperbaiki makam kedua orang tersebut selayaknya sebagai makam para pahlawan.

Ketiga orang itu adalah Mappiasse, Beddu Rassa, dan Sattu Sobbu. Mereka bertiga memang mendapatkan rezeki yang melimpah tahun itu, hasil panen mereka berhasil tiga kali lipat daripada tahun-tahun sebelumnya. Rupanya Raksasa Lompobattang dan Raksasa Bawakaraeng terus menaungi hidup mereka yang selalu berbuat baik pada orang.
Tapi, baik Lahajji dan Mattorang maupun Mappiasse, Beddu Rassa, dan Sattu Sobbu tidak sadar kalau dari kejauhan ada juga orang yang memperhatikan mereka. Orang itu yang hanya datang seorang diri saja nampak pula meneteskan air mata. Yang membuatnya bersedih bukan karena kematian Barra Tobarani dan Sallasa Tomacca, tetapi ia khawatir tak ada orang yang akan menangisi kuburannya ketika ia meninggal dunia kelak. Meski kala itu ia terkenal sebagai sosok dermawan, tapi ia selalu ragu kalau suatu waktu masyarakat akan tahu bahwa dirinyalah yang berhasil menembak mati para petani yang berani melawan pihak perkebunan.

Setelah kedua rombongan tersebut meninggalkan pemakaman itu, barulah lelaki itu yang sebenarnya adalah seorang mandor perkebunan bernama Mandor Lamakking mendekat. Ia lalu tertunduk di depan makam Barra Tobarani. Sambil menteskan airmata, mulut Mandor Lamakking komat-kamit, tetapi ia tidak berdoa melainkan meminta maaf atas kesalahannya pada almarhum Barra Tobarani dan Sallasa Tomacca.

Kemarau kian panjang. Hujan enggan datang. Hanyalah mendung yang sesekali datang menawarkan hujan lalu menghilang. Matahari terus bersinar seperti mata perempuan jalang. Bumi terus meradang. Tanah mulai gersang.
Warga Desa Tibona pun saling bersilat lidah memberi jawaban.

“Raksasa Bawakaraeng dan Lompobattang memang sedang murka lalu menghalau hujan.”

“Inilah akibat sering terjadinya keangkaramurkaan.”

“Pun tragedi kemanusiaan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar